Please Don't Cry Juminten

Aku melihat Juminten sedang bersedih. Mata sembab, hidung meler, rambut awut-awut.

"Kenapa kamu Jum?" tanyaku.
"Gapapa kok." jawab Juminten pelan.
"Kalau gapapa ngapain kamu nangis?"
"Bener gapapa kok."
"Please dong Jum. Kamu tahu siapa aku. Kita telah berjanji menjadi sahabat sejati. Kita sepakat untuk saling curhat. Masihkah kamu ragu untuk ceritakan padaku masalah yang sedang menimpamu?"


Tangis Juminten meledak.
"Ada apa Jum?"
"Kamu yakin bisa terima curhatku?" tanya Juminten sambil terisak.
"Ya bisalah Jum. Kan aku sudah terbiasa menerima curhatmu?"
"Tapi kali ini lain. Sesuatu membuatku takut. Dan rasa takut itu yang membuatku menangis."
"Emang apa yang kamu takutkan?"
"Aku takut...."
"Takut apa Jum?"
"Aku takut kehilangan kamu."
"Maksud kamu?"
"Aku harus jujur padamu. Setelah sekian lama kita berteman aku baru menyadari bahwa perasaan cinta itu mulai tumbuh di hatiku. Itulah sebabnya aku takut kehilangan kamu."

"Tapi Jum...."
"Kamu gak mau?"
"Bukan gak mau Jum. Kamu pasti ingat. Di awal kita kenal, kamu bilang bahwa kita hanya berteman. Dalam banyak kesempatan kamu juga sering mengingatkan bahwa kita hanya berteman. Jujur, di hatikupun telah tumbuh rasa suka kepadamu. Tapi rasa suka itu aku pupus karena aku tak ingin kecewa. Aku selalu ingat kalimatmu bahwa kita hanya berteman."
"Tapi sekarang aku telah jilat ludahku sendiri. Perasaan 'hanya berteman' telah berubah menjadi perasaan cinta."
"Maafkan aku Jum."
"Maksudmu?"
"Aku bukan tak mau menerima perasaan cintamu padaku. Aku tak bisa."
"Kenapa?"
"Sudah seminggu ini aku jadian dengan temanmu Jumiatun."

Plak. Pipi Juminten bagai ditampar. Huaaaa huaaaa huaaaa tangisnya semakin kenceng.




story by GalihM
Load disqus comments

0 comments